Digital Nomad dan Pajak: Kerja di Bali, Bayar di Mana?

Dolen.id - Kalau lo pernah nongkrong di Canggu atau Ubud, lo pasti pernah lihat segerombolan manusia laptop: sandal jepit, headset nempel, nongkrong di kafe tepi sawah sambil ngetik di MacBook. Mereka bukan liburan. Mereka kerja. Dan mereka bukan orang kantor biasa — mereka digital nomad.

Istilah yang dulu kedengeran eksotis ini sekarang jadi gaya hidup mainstream. “Kerja dari mana aja” bukan lagi jargon startup, tapi realita. Tapi pertanyaannya: kalau kerja dari Bali, bayar pajaknya di mana? 

Nomad Modern, Masalah Klasik

Gue pernah ngobrol sama Zara, 28 tahun, UI designer yang udah dua tahun jadi digital nomad. Kliennya dari Singapura, tapi base-nya di Bali. Dia ngakunya belum pernah ngurus pajak karena, katanya, “Klien gue kan luar negeri. Gak kena pajak Indo dong?”

Padahal, menurut data dari IDTAX.or.id, aturan pajak Indonesia berdasarkan domisili pajak, bukan asal klien. Artinya, kalau lo tinggal lebih dari 183 hari di Indonesia dalam setahun, lo tetep dianggap subjek pajak dalam negeri — alias wajib bayar pajak atas semua penghasilan, termasuk yang lo dapet dari luar negeri.

Pro Visioner Konsultindo, Konsultan Pajak Jakarta dan Indonesia Profesional, sering nemuin kasus kayak gini. “Banyak freelancer atau remote worker yang salah paham. Mereka pikir asal uangnya dari luar, berarti bebas pajak. Padahal enggak,” kata salah satu konsultan mereka.

Dan yang menarik, Provisio Consulting, Tax Consultant Jakarta, bilang tren digital nomad ini bikin sistem pajak makin kompleks. Karena banyak banget orang kerja lintas negara, tapi belum paham aturan tax treaty (perjanjian pajak antarnegara). 

Hidup di Surga Tropis, Tapi Dokumen Neraka

Coba bayangin: lo kerja di Bali, dibayar dolar via PayPal, tapi rekening lo di bank lokal. DJP bisa liat transaksi itu. Apalagi kalau jumlahnya stabil dan besar. Dan ketika data gak cocok sama laporan SPT lo? Boom — bisa muncul SP2DK.

“Banyak anak muda yang kerja remote gak sadar kalau data rekening udah otomatis ke sistem DJP,” kata salah satu konsultan Pro Visioner Konsultindo.
Dulu lo bisa ngumpet, tapi sekarang hampir gak ada ruang buat “invisible income”. Semua terekam.

Menurut artikel di IDTAX.or.id, kalau lo dapet penghasilan dari luar negeri, lo bisa dapet kredit pajak (tax credit) biar gak double tax — asal lo lapor dengan benar. Tapi kalau lo skip, ya dianggap penghasilan biasa yang harus disetor penuh. 

Pajak, Tapi Make It Digital

Yang menarik, generasi digital nomad ini gak anti pajak — mereka cuma pengen sistem yang lebih cepat dan fleksibel. Banyak yang ngerasa ribet harus isi e-filing manual, masukin kurs dollar ke rupiah, ngitung ulang.

“Indonesia sebenernya udah lumayan maju dengan DJP Online,” kata Provisio Consulting. “Tapi literasi pajak digital di kalangan anak muda masih rendah banget.”

Itu kenapa mereka sering saranin digital nomad buat pake jasa Tax Consultant Indonesia yang paham soal pajak internasional. Karena beda banget antara pajak karyawan lokal dan freelancer global. 

The Irony of Freedom

Digital nomad sering ngejual mimpi: kerja bebas, hidup santai, gak kejebak kantor. Tapi di sisi lain, mereka tetep hidup di dunia yang punya aturan. Dan salah satu aturan itu ya: bayar pajak.

Lo bisa ganti timezone sesuka hati, tapi lo gak bisa kabur dari tanggung jawab fiskal.
Karena di mata DJP, selama lo punya penghasilan dan domisili di Indonesia, ya lo bagian dari sistem.

Idtax.or.id  bahkan nyebut fenomena ini “the invisible workforce”: generasi global yang kerja dari mana aja, tapi tetep nyambung ke sistem ekonomi nasional. 

Digital Nomad Lokal: Bali Jadi Pusat, Jakarta Jadi Kantor Virtual

Yang lucu, tren ini gak cuma buat bule. Banyak Gen Z lokal yang udah ninggalin Jakarta buat kerja remote di Bali, Yogyakarta, atau Lombok. Mereka kerja buat klien luar negeri tapi KTP-nya masih Indonesia. Jadi? Tetep wajib pajak domestik.

Menurut Pro Visioner Konsultindo, sekarang makin banyak remote worker Indonesia yang dateng konsultasi buat urus NPWP, e-filing, dan pengakuan penghasilan luar negeri. “Mereka gak mau main-main, karena sadar data transaksi digital makin transparan,” kata mereka.

Sementara Provisio Consulting bilang, banyak perusahaan luar negeri sekarang minta invoice resmi dan bukti pajak biar bisa klaim di negaranya. Jadi, kalau lo gak punya administrasi pajak rapi, bisa-bisa klien lo kabur karena “gak compliant.” 

Kebebasan Butuh Keteraturan

Di era kerja remote, kebebasan bukan berarti tanpa tanggung jawab. Lo bisa kerja di pantai sambil minum coconut latte, tapi lo tetep bagian dari sistem ekonomi yang ngatur arus uang. Dan sistem itu gak bisa jalan tanpa pajak.

“Pajak itu bukan beban, tapi bagian dari sustainability,” kata salah satu artikel di IDTAX.or.id.
Dan itu bener banget. Karena tanpa pajak, gak ada infrastruktur, gak ada jaringan internet cepat, gak ada coworking space tempat lo kerja sekarang.
 

Penutup: Kerja dari Mana Aja, Tapi Bayar di Tempat Lo Berdiri

Gue rasa, digital nomad bukan soal kabur dari sistem, tapi soal nyari keseimbangan. Lo kerja global, tapi tetep grounded secara legal dan finansial.

Lo bisa hidup di Bali, tapi tanggung jawab lo tetep di Indonesia.
Lo bisa kerja untuk dunia, tapi tetep punya kontribusi buat tempat asal lo.

Dan kayak yang sering dibilang sama Pro Visioner Konsultindo dan Provisio Consulting — dua tax consultant Jakarta yang udah paham banget gaya kerja modern:
“Kerja remote itu masa depan, tapi taat pajak itu pondasinya.”

Posting Komentar

- Advertisment -

- Advertisment -